Hidup Sederhana yang Sehat, Bukan Hidup Menderita.!!
Makanan sederhana yang sehat ala pedesaan di China.
Tulisan ini dibuat dari kejauhan sekian ribu mil dari tanah air.
Tepatnya di sebuah desa 2 jam bermobil dari salah satu kota di negri
tirai bambu.
Di tempat ini, dari mana ilmu Taichi berasal, nuansa kesederhanaan
masih terasa kental sekali pun begitu banyak orang asing berdatangan
sebagai murid dari pelbagai penjuru dunia.
Negeri empat musim ini tak pelak menghasilkan gandum. Terbukti tepat di depan jendela kamar terhampar ladang gandum sejauh mata memandang.
Selain mengajar taichi sejak jaman leluhurnya, sang suhu juga petani lasak pemegang nilai-nilai tradisional yang tak pernah melewatkan makan bersama dengan anak cucu setiap harinya di meja pendek, berkursi pendek-pendek seukuran cucu balitanya.
Kembali ke ‘peradaban yang sesungguhnya’, membuat saya merenung banyak. Di sini, semua orang bekerja keras, harafiah secara fisik. Kulit menghitam entah bertani atau akibat taichi di bawah matahari.
Tanpa jasa bersih-bersih ala hotel berbintang, kami menyapu, mengepel, menguras kamar mandi, hingga menyuci sendiri. Semua nampak sibuk, bahkan dapur umum selalu ngebul dari subuh hingga makan malam usai.
Semua tercukupi dengan hanya makan sehari tiga kali, yang sangat sederhana. Tidak ada istilah rehat kopi apalagi snacking. Terlalu mewah, terlalu foya-foya.
Kelaparan? Pastinya tidak. Mereka dan kami terlihat amat sehat. Nampak berpinggang dengan punggung rata, kaki kokoh dan dada bidang.
Ada rahasia makanan tertentu? Ramuan herbal ajaib? Sama sekali tidak. Karena pekerja keras, setiap makan selalu ada bakpau kosong dikenal sebagai mantau yang mudah bantat jika kena udara dingin – tampilannya jangan dikira putih lembut seperti bakpau di mall, melainkan kusam kekuningan dengan bau ragi yang masih kentara.
Begitu pula rupa nasi yang hanya muncul dua kali sehari – ada orang yang terkadang justru mengejar kerak kecoklatannya di dasar langseng.
Anehnya, semua orang makan lahap bersanding sup encer dan dua jenis lauk. Yang paling sering muncul justru ketimun. Dari dibuat acar hingga diserut sebagai campuran sup bersama jamur kuping dan kocokan telur.
Tahu hampir selalu tersedia dengan cincang daging yang nyaris kurang dari sesendok makan dalam satu baskom irisan tahu serta daun bawang dan satu baskom lain berisi sayuran. Tidak ada jamu apalagi minuman rempah ajaib.
“Warung besar” terdekat dari tempat saya tinggal, butuh ditempuh dengan jalan kaki sejauh 2 kilometer. Perjalanan itu wajib ditempuh demi buah dan sayuran segar. Jangan salah, bukan berarti mereka tidak punya mobil.
Jalan raya pun mulus tak berlubang. Tapi, berjalan kaki dengan jalur pejalan kaki yang nyaman sudah merupakan budaya.
Sepanjang jalan, anak-anak berpipi merah memandang para pendatang dengan tatapan ingin tahu dan orangtuanya menyapa ramah, seakan kami sudah penduduk lama di sana.
Ketenangan sangat terasa di sini, tempat dimana Google jangan harap bisa dibuka semaunya dan mustahil mengakses Facebook apalagi meng-upgrade Twitter.
Paling tidak, pemerintahnya meminimalkan stres rakyat akibat media sosial dan kegilaan mengumbar narsisme wajah hasil photoshop.
Negeri empat musim ini tak pelak menghasilkan gandum. Terbukti tepat di depan jendela kamar terhampar ladang gandum sejauh mata memandang.
Selain mengajar taichi sejak jaman leluhurnya, sang suhu juga petani lasak pemegang nilai-nilai tradisional yang tak pernah melewatkan makan bersama dengan anak cucu setiap harinya di meja pendek, berkursi pendek-pendek seukuran cucu balitanya.
Kembali ke ‘peradaban yang sesungguhnya’, membuat saya merenung banyak. Di sini, semua orang bekerja keras, harafiah secara fisik. Kulit menghitam entah bertani atau akibat taichi di bawah matahari.
Tanpa jasa bersih-bersih ala hotel berbintang, kami menyapu, mengepel, menguras kamar mandi, hingga menyuci sendiri. Semua nampak sibuk, bahkan dapur umum selalu ngebul dari subuh hingga makan malam usai.
Semua tercukupi dengan hanya makan sehari tiga kali, yang sangat sederhana. Tidak ada istilah rehat kopi apalagi snacking. Terlalu mewah, terlalu foya-foya.
Kelaparan? Pastinya tidak. Mereka dan kami terlihat amat sehat. Nampak berpinggang dengan punggung rata, kaki kokoh dan dada bidang.
Ada rahasia makanan tertentu? Ramuan herbal ajaib? Sama sekali tidak. Karena pekerja keras, setiap makan selalu ada bakpau kosong dikenal sebagai mantau yang mudah bantat jika kena udara dingin – tampilannya jangan dikira putih lembut seperti bakpau di mall, melainkan kusam kekuningan dengan bau ragi yang masih kentara.
Begitu pula rupa nasi yang hanya muncul dua kali sehari – ada orang yang terkadang justru mengejar kerak kecoklatannya di dasar langseng.
Anehnya, semua orang makan lahap bersanding sup encer dan dua jenis lauk. Yang paling sering muncul justru ketimun. Dari dibuat acar hingga diserut sebagai campuran sup bersama jamur kuping dan kocokan telur.
Tahu hampir selalu tersedia dengan cincang daging yang nyaris kurang dari sesendok makan dalam satu baskom irisan tahu serta daun bawang dan satu baskom lain berisi sayuran. Tidak ada jamu apalagi minuman rempah ajaib.
“Warung besar” terdekat dari tempat saya tinggal, butuh ditempuh dengan jalan kaki sejauh 2 kilometer. Perjalanan itu wajib ditempuh demi buah dan sayuran segar. Jangan salah, bukan berarti mereka tidak punya mobil.
Jalan raya pun mulus tak berlubang. Tapi, berjalan kaki dengan jalur pejalan kaki yang nyaman sudah merupakan budaya.
Sepanjang jalan, anak-anak berpipi merah memandang para pendatang dengan tatapan ingin tahu dan orangtuanya menyapa ramah, seakan kami sudah penduduk lama di sana.
Ketenangan sangat terasa di sini, tempat dimana Google jangan harap bisa dibuka semaunya dan mustahil mengakses Facebook apalagi meng-upgrade Twitter.
Paling tidak, pemerintahnya meminimalkan stres rakyat akibat media sosial dan kegilaan mengumbar narsisme wajah hasil photoshop.